Selasa, 05 Mei 2009

resensi "menolak panggilan pulang"

Penetrasi yang Menganyam Kehancuran

Judul : Menolak Panggilan Pulang

Penulis : Ngarto Februana

Penerbit : Media Pressindo, Yogyakarta, Cetakan I, Juli 2000

Tebal : 207 Halaman

Tak semua perubahan dan kemajuan memetik buah yang manis. Ketika sebuah komunitas maupun individu diterjang datangnya perubahan baru yang tak terantisipasi, maka yang terjadi justru kegamangan. Dan nyatanya, tak ada yang lebih dahsyat dari kehancuran yang dianyam melalui meleburnya penetrasi sebuah kultur dalam sosok individu maupun komunitas.

Desa Malinau adalah bagian dari tiga belas desa di Kecamatan Loksado, Perbukitan Meratus, Kalimantan Selatan. Di dalamnya, hidup sekelompok warga Dayak Meratus yang sangat patuh pada tradisi nenek moyang yang turun-temurun. Dengan tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, tak heran jika kemajuan pembangunan desa itu pun berjalan sangat lamban. Ketidakmengertian pada teknologi dan kegigihan untuk mempertahankan adat, akhirnya, menggiring masyarakat Malinau pada sebuah pemikiran yang selalu skeptis dan penuh curiga pada setiap orang yang datang dari luar Meratus.

Ketika Rohaimi, salah satu staf Dinas Sosial di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, datang ke desa itu pada tahun 1981 untuk menawarkan cara bercocok tanam dengan sistem pemupukan dan menggunakan cangkul, justru ditanggapi curiga oleh masyarakat Dayak Meratus. Penghulu Dingit, tetua adat Malinau, menolak tawaran itu. Lima tahun kemudian, saat Rohaimi datang kembali ke Malinau ketika berlangsung Aruh Ganal (pesta adat setelah panen padi), ia menawarkan diri menjadi orangtua asuh bagi Utay, anak tunggal penghulu Dingit, supaya bisa bersekolah di Kandangan. Meski semula curiga, akhirnya Dingit memperbolehkan anaknya bersekolah di kota. Utay pun pergi meninggalkan teman-teman sepermainannya, termasuk Aruni, anak gadis penghulu Balai Jalay yang telah menjadi jodohnya secara adat.

Tujuh tahun kemudian, Utay menamatkan SMA dan juga kursus bahasa Inggris. Atmosfer kota yang serba berkecukupan dan penuh kemudahan, rupanya, telah lekat dalam darah Utay. Mulailah banyak perdebatan dalam dirinya ketika kembali ke Desa Malinau, tanah kelahirannya. Sementara itu, Aruni pun sudah tumbuh menjadi gadis cantik yang cerdas. Ia membantu mengajar keterampilan tangan di sebuah sekolah kecil di Malinau. Pemikiran Utay yang sudah lebih moderat bertemu dengan kekolotan adat di desanya. Utay pun gamang, apalagi ketika ayahnya menagih janjinya sebagai penerus tetua adat itu. Di satu sisi, ia pernah bersumpah untuk menjunjung tinggi adat leluhurnya. Tapi, pendidikan yang telah dikenyamnya melahirkan satu cita-cita baru: bekerja sebagai tenaga administrasi di PT Rimba Nusantara, sebuah perusahaan hutan tanaman industri di Banjarmasin. Ia juga ingin masyarakat Malinau menerima tawaran perusahaan itu untuk bekerja sama mengelola lahan mereka. Rasa sayang penghulu Dingit membuatnya mengabulkan keinginan anaknya untuk bekerja di kota, sembari menunggu saat yang tepat untuk kembali ke Malinau dan menjadi penerus sebagai penghulu Balai Bidukun.

Bayangan kemapanan, sedikit demi sedikit, memperbesar semangat pemberontakan dalam diri Utay. Anak penghulu yang disegani di Desa Malinau itu pun telah berubah: dari anak kampung yang terbelakang, menjadi pemuda terpelajar yang angkuh. Adat-istiadat tak lagi dihiraukannya. Iming-iming sepeda motor, kegemerlapan kota, dan niatnya menikahi Aruni, membuat Utay akhirnya nekat. Ia menipu perusahaannya dengan memberikan laporan palsu bahwa warga Desa Malinau setuju bekerja sama dengan PT Rimba Nusantara untuk menanam pohon tanaman industri. Malinau pun geger dan pertikaian tak terhindarkan. Utay ditangkap dan dihukum secara adat. Penyesalan dan keterpurukannya semakin menjadi, apalagi setelah tahu Aruni hamil. Di tengah penyesalannya, gemerlapan kota timbul lagi mendesak batinnya. Dan dendamnya pun berkobar, menyulut keinginannya lari dari Malinau.

Membaca novel ini seperti menjelajah ke suatu tempat asing yang tak terpikirkan sebelumnya. Cekaman adat Dayak Meratus yang mistis dan kolot sangat terasa dari paparan berbagai bentuk ritual yang dilakukan warga Malinau. Jalinan cinta Utay dan Aruni dijadikan penulisnya sebagai jembatan untuk mengilustrasikan ruwetnya pertemuan budaya yang saling berlawanan. Sederhana, tapi mengena. Novel ini tampaknya lebih mengedepankan aspek science melalui pendekatan budaya. Itulah sebabnya, banyak konflik yang mestinya bisa digarap lebih detail dan menarik, justru hanya ditampilkan secara ilustratif. Padahal, pertemuan antara adat Malinau yang kolot dengan kehidupan kota yang begitu kompromistis bisa menjadi picu sebuah konflik yang tajam dan dramatis. Proses penetrasi budaya yang melebur dalam diri Utay itulah yang agaknya tak digarap penulisnya dengan saksama. Meski begitu, dari sisi paparan data tentang sebuah komunitas, tampak jelas penguasaan penulis tentang "rimba" yang dimasukinya. Dan bagaimanapun, itu juga suatu kelebihan. Lily Bertha Kartika

1 komentar: