Rabu, 06 Mei 2009

puisi

A. Kompetensi yang Diharapkan

Setelah mengikuti diklat ini, peserta diharapkan mampu:

  1. memahami arti puisi
  2. memahami corak puisi
  3. menulis puisi

B. Indikator

  1. Peserta diklat mampu memahami arti puisi
  2. Peserta diklat mampu memahami corak puisi
  3. Peserta diklat mampu menulis puisi

C. Pengertian Puisi

Boswell: Lalu, puisi itu apa, Tuan?

Johnson: Wah, Tuan, lebih mudah mengatakan apa yang bukan puisi. Kita semua tahu cahaya itu apa, tetapi menceritakan itu, itu tidak mudah.

(James Boswell dalam Luxemburg, 1992:175)

Sebenarnya, puisi telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Indonesia sejak lama. Sebagai salah satu bentuk jenis sastra tertua, puisi bahkan telah menyatu dengan tradisi. Masyarakat Jawa mengenal puisi dalam bentuknya yang tertua, yakni kakawin. Pada beberapa upacara tradisi, tembang-tembang didendangkan untuk menyampaikan pesan kepada para pendengarnya. Berbalas pantun, misalnya, sudah menjadi kebiasaan masyarakat Sumatera.

Puisi adalah salah satu jenis karya sastra. Mendefinisikan sebuah puisi tidaklah mudah. Namun, ada beberapa karakter yang membedakan puisi dengan jenis karya sastra lainnya. Ciri yang paling mudah untuk membedakan puisi dengan jenis sastra lainnya adalah segi penampilan tipografinya. Jika sebuah teks yang larik-lariknya tidak sampai pada tepi halaman dan disusun dalam format baris dan bait, maka kita dapat mengandaikannya sebagai sebuah puisi.

Ciri puisi yang menonjol lainnya adalah segi tematiknya. Teks-teks puisi biasanya berupa teks-teks monolog yang berisi ungkapan si Aku-lirik, mengenai diri dan kehidupannya, diri dengan alam dan manusia lainnya, atau diri dengan Tuhannya. Puisi berisi pengalaman jiwa. Puisi merupakan sebuah ekspresi yang mampu membangkitkan perasaan, merangsang imajinasi panca indera (Pradopo, 2002:7). Teks puisi disampaikan dengan cara-cara yang unik, berbeda dengan prosa atau drama karena tidak diungkapkan secara eksplisit dan kadang-kadang mengabaikan kaidah bahasa. Lihatlah puisi Ibrahim Sattah berikut ini:

DAN DAN DID

.............................

Di sana pasir di sini pasir di sana batu di sini batu

Di sana bayang di sini bayang di sana air di sini air

Siapa itu

Maka adalah lengang

Terkapung dalam beragam makna di mana aku ada

Dan sebagai mana biasa aku pun lupa

Sesuatu

yang tak kutahu

indandid indekandekid indekandekudeman indandid

................................

Ibrahim Sattah lebih sering bermain dengan bunyi, sehingga puisinya lebih mirip seperti mantra. Kata indandid, misalnya, tak memiliki arti kata, demikian pula dengan indekandekid indekandekudeman indandid. Meskipun kutipan puisi di atas berbicara hal yang biasa, yakni tentang pasir, batu, air, dan Aku-lirik, namun bisa menjadi sangat ekspresif ketika penyair menggunakan permainan bunyi dan irama yang dinamis.

Puisi adalah sarana yang cukup efektif untuk menyampaikan pesan kepada para pembacanya. Puisi menyampaikan pesan tersebut dengan cara unik karena kepadatannya, ekspresif dengan berbagai gaya bahasanya, namun sarat akan makna.

D. Corak Puisi

Karya sastra, termasuk di dalamnya puisi, selalu berada dalam tegangan antara konvensi dan inovasi, atau berada dalam tegangan antara estetika identitas dan estetika oposisi. Penyair kadang kala menyelaraskan karya mereka dengan bentuk dan jenis-jenis karya yang sudah ada. Beberapa penyair bahkan terkadang merasa bangga apabila mereka berhasil memenuhi peraturan-peraturan tersebut.

Sebelum pengaruh kesenian Barat banyak memasuki Indonesia, perpuisian saat itu lebih banyak dipengaruhi puisi lama seperti mantra, pantun, dan syair. Bentuk puisi yang paling tua adalah mantra (Waluyo, 1987:5) karena dalam mantra terkonsentrasi kekuatan bahasa yang dimaksudkan penciptanya untuk menimbulkan daya magis. Contoh puisi lama lainnya adalah pantun yang memiliki peraturan dalam hal jumlah kata, bunyi, jumlah baris dalam setiap baitnya yang terdiri dari sampiran dan isi seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini: piring putih piring bersabun / disabun anak orang Cina / memutih bunga dalam kebun / setangkai saja yang menggila.

Inovasi perpuisian di Indonesia sangat menonjol di tahun 1945-an. Puisi di tahun 1945-an bisa dikatakan mementingkan makna atau bentuk batin puisi, memiliki kebebasan dalam bentuk fisiknya, dan kreatif secara bahasanya.

Contoh:

Penerimaan

Kalau kau mau kuterima kau kembali

Dengan sepenuh hati

Aku masih sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi

Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tantang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kau kembali

Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi

(Chairil Anwar)

Puisi Chairil Anwar di atas terdiri dari lima bait dengan jumlah baris yang beragam di setiap baitnya. Bait 1 dan 3, misalnya, terdiri dari dua baris, sedangkan bait 2 dan 4 hanya terdiri dari satu baris. Bait terakhir puisi di atas terdiri dari 3 baris. Bahasa Chairil Anwar juga cenderung lugas, bahasa sehari-hari, namun sangat ekspresif. Puisi-puisinya juga cenderung menggambarkan suasana jiwa, semangat dan cita-cita muda yang membaharu, dinamis, dan terus-menerus bergerak (Jassin, 1985:42). Potongan puisinya, seperti ”aku ini binatang jalang,” ”aku mau hidup seribu tahun lagi,” atau ”sekali hidup, sudah itu mati,” mencerminkan semangat hidupnya yang menyala-nyala. Tak heran, puisi di era 1945 selalu lekat dengan sosok Chairil Anwar.

Tahun 80an bisa dikatakan sebagai tahun keemasan puisi Indonesia. Pada masa ini, inovasi-inovasi puisi tak hanya dilakukan dalam hal tematik, melainkan juga fisik. Sutardji Calzoum Bachri, misalnya, berkredo untuk mengembalikan puisi pada awal mulanya, yakni mantera. Karenanya, puisi Sutardji banyak memanfaatkan bunyi-bunyian.

Contoh:

O

dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau

resahku resahkau resahrisau resah balau resahkalian

ragaku ragakau ragaguru ragatahu ragakalian

mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai

siasaiku siasiakau siasiasia siabalau siarisau siakalian siasia

waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswas

duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai

aku okau okosong orindu okalian obolong orisau orisau oKau O.....

Inovasi lain juga ditunjukkan dengan kehadiran Pengakuan Pariyem: Dunia Batin Wanita Jawa karya Linus Suryadi AG. Subagio Sastrowardoyo bahkan menyebutnya sebagai puisi yang penting dalam khasanah puisi Indonesia mutakhir. Pengakuan Pariyem disebut sebagai ”prosa liris” karena bentuk fisiknya yang liris namun prosais karena terdiri dari beratur-ratus halaman, memiliki penokohan dan alur seperti yang dijumpai dalam prosa. Berikut ini adalah kutipan Pengakuan Pariyem:

.....................................

”Ya, ya, Pariyem saya

Adapun kepercayaan saya:

Mistik Jawa

Tapi dalam kartu penduduk

Oleh Pak Lurah dituliskan

Saya beragama Katolik

Memang saya pernah sinau di sekolah dasar

Kanisius di Wonosari Gunung Kidul

Tapi sebagaimana sinau saya tak tamat

Saya pun tak punya akar kokoh bergama

Memang saya dibaptis rama pastur Landa

Berambut pirang dan tubuhnya jangkung

- van de Moutten namanya

Jadi jelasnya, terang-terangan saja:

- kepercayaan saya Katolik mistik

alias Katolik Kejawen

Maria Magdalena nama pemandian saya

Maria Magdalena Pariyem lengkapnya

”Iyem” panggilan sehari-harinya

Dari Wonosari Gunungkidul

...........................

Dari beberapa contoh corak puisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa corak puisi itu beragam. Corak yang beragam itu disebabkan karena adanya tegangan antara konvensi dan inovasi dalam produksi sastra. Artinya, puisi tidak selamanya harus berbentuk bait-baris atau menonjolkan ciri format-tipografiknya. Beberapa puisi yang dinilai ”indah” kadang kala disebabkan karena beberapa hal, misalnya inovasi-inovasi dalam pengucapan, pemilihan teknik dan ketepatan ekspresinya, atau ekspresi yang dikandung dalam puisi itu sendiri yang banyak menggambarkan perasaan, pengalaman jiwa, ataupun tanggapan evaluatif penyair terhadap lingkungan di sekitarnya.

E. Unsur-unsur Pembangun Puisi

Bahasa dalam karya sastra (puisi) bukanlah bahasa sehari-hari. Itu karena bahasa dalam karya sastra ada pada tataran secondary modelling system atau sistem bahasa yang ke dua. Karenanya, arti kata dalam puisi bukan arti kata yang mutlak atau absolut, melainkan bersifat universal. Menurut Rifaterre (1978:2), puisi merupakan representasi dari realitas kehidupan, atau merupakan tiruan (mimesis).

Puisi menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Ketidaklangsungan ini dikarenakan adanya displacing (penggantian arti), distorting (penyimpangan), dan creating of meaning (penciptaan arti). Puisi memiliki beberapa unsur, antara lain bunyi, diksi, bahasa kiasan, citraan, sarana retorika, bentuk visual, dan makna. Berikut ini adalah penjelasannya.

E.1. Bunyi

Bunyi merupakan peran yang penting dalam puisi karena puisi merupakan karya seni yang diciptakan untuk didengarkan (Sayuti, 2002:102). Bunyi berperan seperti layaknya orkestra yang dapat mempengaruhi perasaan, pikiran, dan pengalaman jiwa para pendengarnya. Kombinasi bunyi yang merdu biasa disebut dengan efoni, atau bunyi yang indah (Pradopo, 2002:27). Efoni biasanya untuk menggambarkan perasaan cinta atau hal-hal yang menggambarkan kesenangan lainnya. Contoh efoni antara lain berupa kombinasi bunyi-bunyi vokal (asonansi) a, e, i, u, o dengan bunyi-bunyi konsonan bersuara (voiced) seperti b, d, g, j, bunyi liquida seperti r dan l, serta bunyi sengau seperti m, n, ny, dan ng.

Sebaliknya, kombinasi bunyi yang tidak merdu, parau, dan banyak diwarnai bunyi k, p, t, s disebut kakofoni. Kakofoni biasanya untuk mewakili ekspresi yang tidak menyenangkan, tak teratur. Bandingkan kedua kutipan puisi berikut ini.

Ada Tilgram Tiba Senja

..................

Ada podang pulang ke sarang

Tembangnya panjang berulang-ulang

- pulang ya pulang, hai petualang!

Ketapang. Ketapang yang kembang

Berumpun di perigi tua

Anakku datang anakku pulang

Kembali kucium, kembali kuriba

(WS Rendra)

Sodom dan Gomorrha

Tuhan

Tertimbun

Di balik surat pajak

Berita politik

Pembagian untung

Dan keluh tangga kurang air

............

(Subagio Sastrowardoyo)

WS Rendra banyak melakukan perulangan terhadap huruf-huruf vokal (asonansi) seperti a, o, a dan u yang dipadankan dengan bunyi sengau (nasal) ng. Efek yang timbul darinya adalah suasana gembira, penuh kemesraan, dan harapan untuk bertemu dengan anak si Aku-Lirik. Sebaliknya, Subagio Sastrowardoyo lebih banyak bermain dengan pengulangan bunyi konsonan (aliterasi) seperti k, p, dan t. Sehingga, efek yang muncul adalah perasaan muram, penuh kemarahan, sesak, dan kesempitan.

E.2. Diksi

Diksi adalah pilihan kata atau frase dalam karya sastra. Kata-kata yang dipilih oleh penyair merupakan ”kata pilihan” untuk mengungkapkan apa yang disampaikannya secara tepat. Efek yang muncul dari pemilihan kata ini adalah adanya imajinasi yang estetis. Pemilihan kata juga bisa menjadi ciri dari seorang penyair (idiosinkresi). Salah satu penyair yang lekat dengan budaya Jawa karena banyak memanfaatkan bahasa Jawa dalam penulisan puisinya adalah Darmanto Jatman, seperti yang terlihat dalam buku kumpulan puisinya Golf untuk Rakyat (1981).

E.3. Bahasa Kiasan

Unsur puisi lainnya adalah bahasa kiasan (figurative language). Peran figurative language adalah untuk mendapatkan efek estetis dengan pengungapannya secara tak langsung. Kadang kala, untuk mendapatkan kejelasan gambaran angan. Bahasa kiasan bermacam-macam, antara lain simile (perbandingan), metafora (perbandingan tak langsung), personifikasi, metonimi, sinekdoki, dan alegori (Pradopo, 2002:62).

Simile adalah perbandingan secara langsung, tandanya adalah adanya kata-kata pembanding, misalnya seperti laksana, seakan, bak, bagai, seperti. Contoh: awan tipis siang itu / seakan tirai ranjangmu yang indah (Arief Fauzi dalam Doa Santri: Ibunda Hj. Hasyimah, 1997).

Personifikasi atau prosopopoeia (Keraf, 2004:140) adalah bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Benda-benda mati itu seolah-olah bisa berperilaku, berperasaan, dan memiliki karakter manusia lainnya. Contoh: angin baru saja singgah di kota ini, mengendarai awan-awan yang kesepian karena ditinggalkan burung-burung kepodang.

Metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dalam sebuah metafora terdapat dua unsur, yakni pembanding (vehicle) dan yang dibandingkan (tenor). Metafora ada dua macam, eksplisit dan implisit. Disebut metafora eksplisit jika pembandingnya disebutkan, misalnya kaulah kandil kemerlap. Kau dalam kutipan itu dibandingkan dengan pelita yang memberikan cahaya. Disebut metafora implisit bila yang disebutkan hanya unsur pembandingnya saja, misalnya sebagai rerumputan / kita harus berkembang biak / dalam persatuan dan cinta.

Sinekdoki adalah jenis gaya bahasa yang menggunakan bagian dari suatu benda untuk mewakili benda itu sendiri. Sinekdoki dan metonimi hampir sama karena hanya merujuk pada bagian atau sifat suatu hal atau benda yang dimanfaatkan untuk mewakili benda itu. Misalnya: Kalau ada tangan yang mengulurkan kenyang dari perut nasi hingga enyah lapar ini / Kaulah tangan itu (Abdul Hadi WM, Doa 1). Tangan yang mengulurkan kenyang di atas mewakili Tuhan yang oleh aku-lirik dinilai sebagai pemberi segala rasa kenyang (kenikmatan).

Alegori adalah metafora yang diperpanjang. Alegori disebut juga dongeng perumpamaan. Puisi Teratai karya Sanusi Pane merupakan alegori karena bunga teratai mengisahkan tokoh pendidikan. Teratai adalah gambaran dari tokoh pendidikan itu (Ki Hadjar Dewantara) yang memberikan keteladanan kepada bangsa Indonesia.

E.4. Citraan

Citraan (imagery) adalah gambaran angan yang bermanfaat dalam pemahaman puisi. Citraan memungkinkan kita untuk mencitrakan atau membayangkan kata-kata. Citraan ini sangat bermanfaat dalam menghidupkan puisi Beberapa macam citraan antara lain citraan penglihatan (visual), citraan pendengaran (auditory), citraan lidah atau rasa (tactile), citraan gerak (kinaestetik), dan citraan rabaan (termal).

Contoh citraan visual misalnya apa aku tak boleh berdiri di pantai begini? Jari-jari ombak bertambah banyak (Afrzal Malna, Ombak di Lantai Lima, 2002). Dengan membaca kutipan di atas, pembaca seolah-olah berada di pantai, dengan melihat ombak yang datang silih berganti.

Citraan pendengaran misalnya tampak pada serigala-serigala melulung / gagak-gagak berteriak (Korrie Layun Rampan, Cermin). Kutipan puisi tersebut seolah-olah memberikan efek suara akan situasi yang riuh-ramai, mengabarkan berita tak menyenangkan karena yang bersuara adalah para gagak dan serigala.

Ccitraan rabaan, misalnya, ada pada suram / sebuah bukit / terbentuk dari satu batu (Subagio Sastrowardoyo, Monolith). Bukit dan batu memberikan citraan akan sesuatu yang kasar, keras. Citraan gerak adalah efek dari pelukisan yang memberikan gambaran tentang sesuatu yang sedang bergerak. Misalnya, hanya gagak yang mengakak malam hari / dan siang terbang mengitari bangkai (Subagio Sastrowardoyo, Dewa Telah Mati). Kutipan tersebut memberikan citraan visual sekaligus gerak. Citraan pencecapan terkait dengan rasa, misalnya terlihat pada kesedihan paling tawar dan membosankan / lahir dari kenyataan pahit masyarakat terbata (Dorothea Rosa Herliany, Sungai).

E.5. Sarana Retorika

Sarana retorika adalah sarana muslihat pikiran, maksudnya melahirkan pikiran dengan menggunakan dan merangkai kata-kata hingga menimbulkan tanggapan atau efek pada pembacanya. Beberapa sarana retorika yang biasa dijumpai dalam puisi antara lain: (1) tautologi, yakni menyatakan suatu hal atau keadaan dua kali, misal: tiada kuasa tiada berdaya; (2) pleonasme, yakni mengulang keterangan supaya pembaca lebih jelas, misalnya: turun ke bawah, naik ke atas; (3) enumerasi, yakni penjumlahan, misal: dalam suka, dalam duka, waktu bahagia, waktu merana; (4) paralelisme, yakni persejajaran untuk mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa, misal: segala kulihat segala membayang / segala kupegang segala mengenang; (5) retorik resistense, yakni sarana retorika yang menggunakan titik-titik banyak (................) untuk mengungkapkan maksud yang tak terungkapkan; (6) hiperbola atau melebih-lebihkan suatu keadaan, misal: angin ribut di luar / rindumu membadai (Jamal D. Rahman, Mutiara Hanya Menjanjikan Ombak); (7) paradoks, yakni menyatakan sesuatu secara berlawanan, seperti: tidak setiap derita / jadi luka / tidak setiap sepi / jadi duri (Sutardi Calzoum Bachri, Jadi). Paradoks biasanya dikombinasi dengan oksimoron atau paradoks yang mempergunakan persejajaran kata yang berlawanan (contoh: hidup – mati) dan kiasmus atau sarana yang menyatakan sesuatu diulang dan salah satu bagian kalimatnya dibalik posisinya (contoh: diri mengeras dalam kehidupan, kehidupan mengeras dalam diri) (Pradopo, 2002: 94-100).

E.6. Bentuk Visual

Bentuk visual, selain merupakan unsur yang paling mudah dikenal, sekaligus merupakan ciri pembeda antara puisi dengan karya sastra lainnya. Secara tipologi, puisi ditulis tanpa memenuhi seluruh halaman, hanya berupa larik-larik. Dalam perkembangannya, bentuk visual puisi tidak hanya konvensial (tidak memenuhi halaman, berupa larik-larik), melainkan juga mengalami inovasi dengan menuliskannya seperti prosa, memenuhi halaman. Ini terlihat dalam puisi Ngiau karya Sutardi Calazoum Bachri berikut ini.

Ngiau

Suatu gang panjang menuju lumpur dan terang tubuhku mengapa panjang. Seekor kucing menjinjit tikus yang menggelepar tengkuknya. Seorang perempuan dan seorang lelaki bergigitan. Yang mana kucing yang mana tikusnya? Ngiau! Ah! Gang yang panjang. Cobalah tentukan! Aku kenal Afrika aku kenal Eropa aku tahu Benua aku kenal jam aku tahu jentera aku kenal terbang. Tapi bila dua manusia saling gigitan menanamkan gigi-gigi sepi mereka aku ragu menetapkan yang mana suka yang mana luka yang mana hampa yang mana makna yang mana orang yang mana

kera yang mana dosa yang mana surga.

Selain bentuk prosais, ada pula bentuk visual puisi yang zig-zag, seperti dalam puisi Tragedi Winka dan Sihka karya Sutardji Calzoum Bachri.

Tragedi Winka dan Sihka

Kawin

Kawin

Kawin

Kawin

Kawin

Ka

Win

Ka

Win

Ka

Win

Ka

Winka

Winka

.....................

E.7. Makna Puisi

Puisi, menurut Riffaterre, haruslah dibaca dalam dua tahapan, yakni tahapan heuristik dan tahapan hermeneutik. Pembacaan heuristik adalah pembacaan secara tekstual. Dalam hal ini, pembaca puisi mencoba memaknai unsur-unsur puisi seperti bunyi, kata, gaya bahasa, citraan, sarana retorika. Pembacaan heuristik ini harus diteruskan pada tahapan pembacaan heremenutik, yakni pembacaan secara keseluruhan untuk mendapatkan makna puisi.

Makna puisi bermacam-macam, mengingat bahwa puisi biasanya berupa tanggapan-pengalaman emosional, intelektual, sosial, imajinatif penyairnya. Ada yang berbicara persoalan cinta, kebenaran, ketuhanan, alam, kesetiaan, kepahlawanan, kematian, nafsu, dll. Menurut Sayuti (1985:185), puisi mengandung masalah yang berkaitan dengan diri sendiri, manusia lain, Tuhan, dan alam.

F. Penulisan Puisi

Puisi merupakan karya kreatif, yakni karya yang lahir dari kreativitas penulisnya. Menulis puisi dengan demikian adalah persoalan kreativitas, yang lekat dengan kemampuan individu untuk memunculkan nilai baru dalam hal-hal yang diciptakannya. Meskipun demikian, kreativitas itu bukanlah suatu hal yang memiliki nilai mati. Kreativitas bisa digali dan ditumbuhkan.

Natalie Goldberg, dalam Alirkan Jati Dirimu: Esai-esai Ringan untuk Meruntuhkan Tembok-Kemalasan Menulis (2005) mengemukakan beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk memotivasi kemampuan menulis seseorang, termasuk di antaranya adalah menulis kreatif. Menurut Goldberg, hal yang harus dilakukan untuk pertama kalinya adalah menulis, tanpa berpikir apakah karya yang dihasilkan nanti bagus atau tidak. Selain itu, menulis juga harus dinilai sebagai sebuah latihan yang perlu dilakukan secara kontinyu, terus-menerus. Calon penulis perlu membuat daftar tema yang akan ditulisnya, dan selalu melawan rasa malas yang sering datang pada masa-masa latihan.

Menurut Bakdi Soemanto (2005:77), menulis puisi harus mempertimbangkan sentuhannya. Sentuhan itu disajikan lewat irama dan pilihan kata-kata. Daya sentuh sebuah puisi, dalam istilah Plato, dikenal dengan istilah mousike. Untuk bisa menulis puisi yang demikian, saran Bakdi Soemanto, perlu merenungi pengalaman-pengalaman yang membuat hati tersentuh.

Tahap proses kreatif ada empat, yakni (1) persiapan, (2) inkubasi, (3) iluminasi, dan (4) verifikasi. Tahap persiapan adalah tahap mencari bahan-bahan atau sumber tulisan. Ini bisa dilakukan dengan pengayaan materi, mencari momen-momen puitik yang bisa menyentuh perasaan. Ide atau bahan penulisan bisa didapat dan digali dari mana saja. Kemunculannya bisa dilakukan dengan mengasah sensitivitas, pengalaman, imajinasi, dan bisa diperkaya dengan kegiatan membaca, mengamati, atau mencari momen-momen puitik. Upaya-upaya pengayaan bahasa perlu dilakukan, misalnya dengan pengayaan penguasaan kosakata, pengayaan bacaan-bacaan, terutama puisi, pengayaan dalam membentuk kata atau frase, dst.

Ketika semua bahan telah terkumpul, tahap berikutnya adalah melakukan inkubasi atau pengendapan. Pada tahapan ini, semua materi yang telah dikumpulkan diendapkan dalam rangka memantapkan calon tulisan sambil melakukan proses penyusunan. Saat semua bahan dirasa siap untuk dilahirkan dalam bentuk tulisan, masuklah tahap iluminasi atau tahap perwujudan. Pada saat ini, semua ide yang telah diorganisir dilahirkan dalam bentuk tulisan.

Setelah selesai menuliskan semua ide yang ingin disampaikan, penulis perlu melakukan tahapan revisi. Jika ada hal yang kurang sesuai, bisa dilakukan perbaikan-perbaikan. Revisi bisa dilakukan dengan cara peer-review, atau meminta pendapat dari teman sejawat. Revisi adalah salah satu cara untuk mencapai perbaikan naskah. Verifikasi adalah tahapan untuk melakukan penilaian-penilaian apakah suatu karya layak untuk diterbitkan.

Rodman Phillbrick (dalam www.teacher.scholastic.com) memberikan beberapa poin penting terkait dengan penulisan puisi. Perencanaan adalah tahap awal yang penting. Setiap penulis puisi harus mengalokasikan waktunya untuk menulis puisi, kurang lebih 5-10 menit. Hal yang perlu dilakukan adalah segera menulis. Menulis sebait puisi lebih baik daripada tidak sama sekali. Semakin sering menulis puisi, maka semakin terbiasa pula dengan puisi. Penulis puisi dapat memulai menulis sesuatu yang menarik perhatian.

Kedua, memastikan bahwa objek yang akan digambarkan sangat penting untuk disampaikan. Penulis dapat menggunakan sudut pandang orang ke tiga, misalnya, jika tidak ingin puisinya terlihat sebagai ”gambaran diri”.

Ketiga, relaksasi penting jika dalam proses menulis puisi tiba-tiba ide menjadi macet. Nikmati situasi yang dekat dengan anda saat ini. Berbaring di sofa, memejamkan mata, berjalan di taman, menyaksikan pepohonan dan lingkungan terdekat adalah resep manjur untuk mengembalikan ide yang sempat terhenti. Segera setelah ide itu kembali datang, anda bisa melanjutkan menulis puisi kembali.

Keempat, berimajinasi dengan bebas. Imajinasi secara bebas akan mengantarkan kita pada kekayaan materi penulisan puisi. Imajinasi secara bebas juga akan membuat pengalaman jiwa semakin beragam.

Kelima, gunakan metafor. Penulis bisa menggunakan kamus tesaurus untuk membantu membuat pemerolehan kosakata dan bahasa menjadi semakin kaya dalam pengucapan. Usahakan untuk menemukan kata yang tepat untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan. Jangan mudah merasa ”puas” sampai merasa benar-benar memilih kata yang tepat sesuai dengan niatan yang ingin diungkapkan.

Subagio Sastrowardoyo (1995) mengungkapkan beberapa poin penting dalam penulisan puisi. Pertama, perhatian terhadap kehidupan di luar dunia kita akan memperkaya dan membuat kita lebih mengenal siapa diri kita. Kedua, puisi yang baik tidak menjadikan dirinya sebagai curahan keluh-kesah atau sedu-sedan belaka, melainkan membuat sedu-sedan atau keluh-kesah itu sebagai alasan bahwa hidup sungguh berarti untuk dilanjutkan. Ketiga, pengamatan terhadap alam, manusia, binatang, atau benda mati dan hidup lainnya akan membuat hidup kita menjadi sadar akan kesemestaan. Keempat, cinta adalah tema yang paling banyak digarap dalam puisi karena cintalah yang menggerakkan roda kehidupan. Kelima, puisi yang baik adalah puisi yang dapat menawarkan pengalaman batin kepada pembaca atau membuat pembaca menangkap dan merasakan pengalaman batin itu.

Beberapa tips dalam menulis puisi:

· Tulislah puisi yang menyentuh hati, objek yang Anda sukai, memori atau tempat. Perkaya citraan atau penginderaan Anda.

· Jadilah diri Anda sendiri dalam menuliskan puisi, bereksplorasilah dengan puisi, masuki diri Anda.

· Jadikan puisi Anda seperti berlian yang memiliki banyak faset dan membuatnya berkilau dengan berbagai pengalaman yang dapat Anda tawarkan kepada pembaca.

· Ambil nafas dalam-dalam, ini akan memudahkan Anda untuk memulai menulis puisi.

· Perkaya kosakata Anda, lihatlah kamus dan buku untuk menambah penguasaan kosakata, dan gunakan kata-kata itu dalam puisi Anda. Pikirkan apa yang akan Anda ekspresikan, gunakan simbol, metafor, dan deskripsi-deskripsi. Ingat, yang membuat puisi itu berbeda dengan jenis sastra lainnya adalah sifatnya yang padat.

· Berbagai perasaan yang bahagia akan membuat Anda mudah menulis dan berekspresi melalui puisi. Karenanya, berbahagialah ketika Anda berhasil menulis puisi.

· Jangan malu untuk berekspresi dan jangan takut menulis puisi yang jelek. Semua penulis pernah melewati tahapan ini sebelum karya mereka dimuat. Jangan patah semangat, teruslah menulis.

· Hargai hidup dengan menulis puisi.

· Bagikan karya Anda, entah kepada teman sejawat atau kerabat. Mintalah mereka untuk mengomentari karya Anda. Atau, kirimkan karya Anda ke media massa.

· Jangan menjelaskan segalanya, gunakan simbol, berikan kesan kepada pembaca.

· Jangan lupa untuk memberi judul puisi Anda.

· Jika Anda tidak menyukai puisi, carilah penyebabnya dan temukan solusinya.

G. Latihan Menulis Puisi

G.1. Latihan Menggali Ide

R Ide bisa digali dengan melakukan pengamatan, membaca, dan membuka kepekaan yang bisa menyentuh perasaan kita. Anda bisa membaca koran atau bacaan lainnya untuk memudahkan penggalian ide. Carilah ide-ide dengan cara yang Anda sukai, setelah itu catatlah hal-hal yang ”mengusik” pikiran dan perasaan Anda.

R Ambillah posisi duduk yang nyaman, kemudian pejamkan mata Anda. Bayangkanlah saat ini anda berada di suatu tempat yang berbeda, dengan situasi yang berbeda. Misalnya, bayangkan Anda sekarang tengah berada di tanah Palestina (daerah peperangan) dan di hadapan Anda saat ini berserakan mayat anak-anak korban perang. Lukiskan bagaimana perasaan Anda... Anda juga bisa memposisikan diri dalam situasi yang berbeda. Yang terpenting adalah melatih menangkap ide serta mampu menuangkan perasaan atau pikiran dalam bentuk puisi.

G.2. Latihan Menulis Puisi

R Cermatilah gambar berikut ini, daftar dan tuliskanlah pikiran Anda. Jika sudah, cobalah untuk menyusunnya menjadi sebuah puisi. Ingat, yang harus Anda lakukan adalah menulis tanpa keraguan! Bebaskan pikiran Anda!

R Dengarkanlah sebuah lagu dengan seksama, misalnya lagu Bing yang dinyanyikan Titik Puspa (atau lagu lainnya). Rasakan betul-betul setiap syair lagu tersebut, setelah itu tuliskan ide-ide yang Anda dapatkan ketika mendengarkan lagu itu. Jika Anda tak mengalami kesulitan dalam menulis puisi, segeralah menulisnya. Jika sebaliknya, Anda perlu melakukan inkubasi.

R Bacalah penggalan cerpen berikut ini, ambillah satu atau beberapa ide yang Anda anggap menarik dari cerpen ini. Kemudian, cobalah menuliskannya menjadi bentuk puisi. Unsur-unsur pembangun puisi perlu diperhatikan. Ingat, puisi lebih ’padat’ daripada prosa (cerpen)!

...............

Tolol. Memang pantas. Musim petai memanggul delapan belas bonggol petai: tersaruk-saruk dan mengetuk pintu terbungkuk-bungkuk. Juminah, berbedak gincu murah –dipakai sewaktu-waktu- selendang kuning dan kebaya brukat, berjalan sepuluh kilo turun gunung. Tentu. Bau keringat dari ketiak, juga Wak Mangli bersarung kampret dengan wajah basah: nyaris mencium dengkul Juragan Faruk ketika datang, ”Kulo bawakan, Bapak Juragan Faruk! Duh, surat dari Bapak sudah kulo tahu. Kulo tak bisa baca, tapi Bapak Kadus berkata; bahwa ehm, anu..... Bapak Juragan Faruk katanya memintai petai. Petai asli. Betulkah? Ah, bingah amarwatasuta, gembira berkah kagiri-giri. Semoga Hasnah di sini betah. Anak saya itu, Bapak Juragan. Sare’atnanya cuman begitu. Bodoh dan mohon petunjuk.”

Biasa mendelik tapi Juragan paham: terbahak. Mungkin lucu. Juga suka. Metingklak di atas kursi. Teriak memanggil bahu, pekak. Ludah menyemprot gigi tonggos, sungguh patut, ”Hasnaaaah!!””

Senang. Wak Mangli memandang tak bosan-bosan. Gadis, ya, sudah perawan. Sebesar itu. Anaknya, buah hati. Kesayangan. Diambil empat tahun lalu jadi batur. Jadi babu. Bayangkan, melayani Faruk! Sungguh besar anugerah Gusti Allah. Tapi nyaris. Tiga tahun lalu, dasar Hasnah memang bodoh, anak itu kabur. Marah. Pertama kali seumur-umur Wak Mangli memukul, ”Kamu yang tolol Hasnah!! Ya Gusti....”

(Orang Kampung, karya Joni Ariadinata)

G.3. Latihan Menangkap Momen Puitik dan Melukiskannya

R Untuk melukiskan perasaan dingin, sepi, kesedihan, cobalah Anda menggenggam es batu di tangan, rasakan bagaimana es itu mencair dan mengalir di sela-sela jari Anda. Rasakan dan resapi! Tuliskan bagaimana atau apa yang Anda rasakan saat es yang mencair itu mengalir...

R Lakukan kegiatan-kegiatan serupa untuk menangkap momen-momen puitik sambil terus berlatih menuangkannya menjadi tulisan. Gantilah media-medianya, misalnya dengan mengamati nyala lilin, merasakan jantung yang berdegup setelah berolah raga dengan mata terpejam, merasakan aliran sungai, mendengarkan suara gemericik air, atau menggenggam batu. Media boleh berupa apa saja.

R Bunyi berperan penting dalam puisi. Anda bisa mengeksplorasi bunyi. Dengarkanlah suara gemerisik daun, deru kereta, atau suara tapal kuda. Lukiskan perasaan atau pengalaman jiwa yang anda tangkap dari suara tersebut. Perkaya puisi Anda dengan memberikan citraan-citraan yang anda tangkap dari latihan ini.

G.4. Latihan Menggayakan Bahasa

R Cermatilah puisi yang sudah sudah ditulis, yang diawali dengan berbagai macam proses di atas. Cobalah untuk menggayakan bahasanya. Cobalah membuat puisi Anda lebih hidup dengan mencari kata-kata atau kalimat yang ”tidak biasa” atau sering digunakan dalam mengungkapkan sesuatu. Perkaya puisi anda dengan citraan-citraan.

R Untuk memperkaya bahasa, anda bisa memanfaatkan kamus tesaurus. Jika perlu, Anda bisa mencatat kata-kata dalam kamus yang menurut Anda pas dan menarik untuk menggantikan kata-kata dalam puisi Anda yang dinilai sudah biasa digunakan.

H. Rangkuman

Puisi merupakan sarana yang cukup efektif untuk menyampaikan pesan kepada para pembacanya. Puisi menyampaikan pesan tersebut dengan cara unik karena kepadatannya, ekspresif dengan berbagai gaya bahasanya, namun sarat akan makna.

Corak puisi yang beragam itu disebabkan karena adanya tegangan antara konvensi dan inovasi dalam produksi sastra. Artinya, puisi tidak selamanya harus berbentuk bait-baris atau menonjolkan ciri format-tipografiknya. Beberapa puisi yang dinilai ”indah” kadang kala disebabkan karena beberapa hal, misalnya inovasi-inovasi dalam pengucapan, pemilihan teknik dan ketepatan ekspresinya, atau ekspresi yang dikandung dalam puisi itu sendiri yang banyak menggambarkan perasaan, pengalaman jiwa, ataupun tanggapan evaluatif penyair terhadap lingkungan di sekitarnya. Di Indonesia, misalnya, bentuk visual puisi tak lagi konvensional, tapi ada yang prosais seperti Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG dan zig-zag seperti puisi Tragedi Winka dan Sihka karya Sutardji Calzoum Bachri. Inovasi dalam hal tematik antara lain ditunjukkan dalam puisi-puisi Rendra yang bergaya balada atau Pengakuan Pariyem yang tak lagi berupa monolog, tapi juga dialog-naratif.

Puisi merupakan sarana ekspresi yang mampu membangkitkan perasaan, merangsang imajinasi panca indera. Dalam bentuknya yang padat, puisi bisa menyampaikan makna dan pesan kepada pembacanya melalui unsur-unsur pembangunnya. Karena menulis puisi merupakan sebuah proses kreatif, maka penulisan puisi erat dengan persoalan kreativitas. Latihan menulis kreatif harus dilakukan secara kontinyu dan dapat dilatih melalui tahapan-tahapan penulisan, seperti persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi.

Daftar Pustaka

Goldberg, Natalie. 2005. Alirkan Jati Dirimu: Esai-esai Ringan untuk Meruntuhkan Tembok-Kemalasan Menulis (diterjemahkan oleh Yuliani Liputo). Bandung: MLC.

Jassin, HB. 1987. Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45. Jakarta: Gunung Agung.

Keraf, Gorys. 1998. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.

Luxemburg, Jan Van (et al). 1992. Pengantar Ilmu Sastra (Diterjemahkan oleh Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Phillbrick, Peter. 2007. ”Poetry Writing” dalam www.teacher.scholastic.com diakses pada 9 Oktober 2007.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Rifaterre, Michael. 1978. Semiotic of Poetry. London:

Sayuti, Suminto A. 1985. Puisi dan Pengajarannya. Semarang: IKIP Semarang Press.

Soemanto, Bakdi. 2005. ”Bagaimana Menulis Kreatif, Sebuah Materi Disusun dengan Perspektif Masa Kini” dalam Menuju Budaya Menulis, Suatu Bunga Rampai. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar